Gerakan Palang Merah
dan Bulan Sabit Merah Internasional
A. Sejarah Gerakan
Perang Solferino
Pada tanggal 24 Juni 1859 di
Solferino, sebuah kota kecil yang terletak di daratan rendah Propinsi Lambordi,
sebelah utara Italia, berlangsung pertempuran sengit antara prajurit Perancis
dan Austria. Pertempuran yang berlangsung sekitar 16 jam dan melibatkan 320.000
orang prajurit itu, menelan puluhan ribu korban tewas dan luka-luka. Sekitar 40
ribu orang meninggal dalam pertempuran.
Banyaknya prajurit yang menjadi
korban, dimana pertempuran berlangsung antar kelompok yang saling berhadapan,
memang merupakan karakteristik perang yang berlangsung pada jaman itu. Tak
ubahnya seperti pembantaian massal yang menghabisi ribuan orang pada satu
waktu. Terlebih lagi, komandan militer tidak memperhatikan kepentingan orang
yang terluka untuk mendapatkan pertolongan dan perawatan. Mereka hanya dianggap
sebagai ‘makanan meriam’. Ribuan mayat tumpang tindih dengan mereka yang
terluka tanpa pertolongan. Jumlah ahli bedah pun sangat tidak mencukupi. Saat
itu, hanya ada empat orang dokter hewan yang merawat seribu kuda serta seorang
dokter untuk seribu orang. Pertempuran tersebut pada akhirnya dimenangkan oleh
Perancis.
Akibat perang dengan
pemandangannya yang sangat mengerikan itu, menggugah Henry Dunant, seorang pengusaha berkebangsaan Swiss (1828 – 1910)
yang kebetulan lewat dalam perjalanannya untuk menemui Kaisar Napoleon III guna
keperluan bisnis. Namun menyaksikan pemandangan yang sangat mengerikan akibat
pertempuran, membuat kesedihannya muncul
dan terlupa akan tujuannya bertemu dengan kaisar. Dia mengumpulkan orang-orang
dari desa-desa sekitarnya dan tinggal di sana selama tiga hari untuk
sungguh-sungguh menghabiskan waktunya guna merawat orang yang terluka.
Ribuan orang yang terluka
tanpa perawatan dan dibiarkan mati di tempat karena pelayanan medis yang tidak
mencukupi jumlahnya dan tidak memadai dalam tugas/keterampilan, membuatnya
sangat tergugah. Kata-kata bijaknya yang diungkapkan saat itu, Siamo
tutti fratelli (Kita semua saudara), membuka hati para sukarelawan
untuk melayani kawan maupun lawan tanpa membedakannya.
Komite Internasional
Sekembalinya Dunant ke Swiss,
membuatnya terus dihantui oleh mimpi buruk yang disaksikannya di Solferino.
Untuk menghilangkan bayangan buruk dalam pikirannya dan untuk menarik perhatian
dunia akan kenyataan kejamnya perang, ditulisnya sebuah buku dan diterbitkannya
dengan biaya sendiri pada bulan November 1862. Buku itu diberi judul “Kenangan dari Solferino” (Un
Souvenir De Solferino).
Buku itu mengandung dua
gagasan penting yaitu:
> Perlunya mendirikan perhimpunan
bantuan di setiap negara yang terdiri dari sukarelawan untuk merawat orang
yang terluka pada waktu perang.
> Perlunya kesepakatan
internasional guna melindungi prajurit yang terluka dalam medan perang dan
orang-orang yang merawatnya serta memberikan status netral kepada mereka.
Selanjutnya Dunant
mengirimkan buku itu kepada keluarga-keluarga terkemuka di Eropa dan juga para
pemimpin militer, politikus, dermawan dan teman-temannya. Usaha itu segera
membuahkan hasil yang tidak terduga. Dunant diundang kemana-mana dan dipuji
dimana-mana. Banyak orang yang tertarik dengan ide Henry Dunant, termasuk
Gustave Moynier, seorang pengacara dan juga ketua dari The Geneva Public Welfare
Society (GPWS). Moynier pun mengajak Henry Dunant untuk mengemukakan idenya
dalam pertemuan GPWS yang berlangsung pada 9 Februari 1863 di Jenewa. ternyata,
160 dari 180 orang anggota GPWS mendukung ide Dunant. Pada saat itu juga ditunjuklah
empat orang anggota GPWS dan dibentuklah KOMITE LIMA untuk memperjuangkan
terwujudnya ide Henry Dunant. Mereka
adalah :
1.
Gustave Moynier
2.
dr. Louis Appia
3.
dr. Theodore Maunoir
4.
Jenderal Guillame-Hendri
Dufour
Adapun Henry Dunant, walaupun
bukan anggota GPWS, namun dalam komite tersebut ditunjuk menjadi sekretaris.
Pada tanggal 17 Februari 1863, Komite Lima berganti nama menjadi Komite Tetap Internasional untuk
Pertolongan Prajurit yang Terluka sekaligus mengangkat ketua baru yaitu Jenderal
Guillame – Henri Dufour.
Pada bulan Oktober 1863, Komite Tetap Internasional untuk Pertolongan Prajurit yang Terluka, atas bantuan
Pemerintah Swiss, berhasil melangsungkan Konferensi Internasional pertama di Jenewa yang dihadiri perwakilan dari 16
negara (Austria, Baden, Beierem, Belanda, Heseen-Darmstadt, Inggris, Italia,
Norwegia, Prusia, Perancis, Spanyol, Saksen, Swedia, Swiss, Hannover dan
Hutenberg). Beberapa Negara tersebut saat ini sudah menjadi Negara bagian dari
Jerman.
Adapun hasil dari konferensi
tersebut, adalah disepakatinya satu konvensi yang terdiri dari sepuluh pasal,
beberapa diantaranya merupakan pasal krusial yaitu digantinya nama Komite Tetap
Internasional untuk Menolong Prajurit yang Terluka menjadi KOMITE INTERNASIONAL PALANG MERAH atau ICRC (International Committeee
of the Red Cross) dan ditetapkannya tanda
khusus bagi sukarelawan yang memberi pertolongan prajurit yang luka di
medan pertempuran yaitu Palang Merah
diatas dasar putih.
Pada akhir konferensi
internasional 1863, gagasan pertama Dunant – untuk membentuk perhimpunan para
sukarelawan di setiap negara pun menjadi kenyataan. Beberapa perhimpunan serupa
dibentuk beberapa bulan kemudian setelah berlangsungnya konferensi
internasional di Wurttemburg, Grand Duchy of Oldenburg, Belgia dan Prusia.
Perhimpunan lain pun segera berdiri seperti di Denmark, Perancis, Italy,
Mecklenburgh-schwerin, Spain, Hamburg dan Hesse. Pada waktu itu mereka disebut
sebagai Komite Nasional atau Perhimpunan Pertolongan.
Selanjutnya, dengan dukungan
pemerintah Swiss kembali, diadakanlah Konferensi Diplomatik yang dilaksanakan
di Jenewa pada tanggal 8 sampai 28 Augustus 1864. 16 negara dan empat institusi
donor mengirimkan wakilnya. Sebagai bahan diskusi, sebuah rancangan konvensi
disiapkan oleh Komite Internasional. Rancangan tersebut dinamakan “Konvensi
Jenewa untuk memperbaiki kondisi tentara yang terluka di medan perang” dan
disetujui pada tanggal 22 Agustus 1864. Lahirlah HPI modern. Konvensi itu
mewujudkan ide Dunant yang kedua, yaitu untuk memperbaiki situasi prajurit yang
terluka pada saat peperangan dan membuat negara-negara memberikan status netral
pada prajurit yang terluka dan orang-orang yang merawatnya yaitu personil
kesehatan.
B. Komponen Gerakan
Liga Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
Pada akhir perang dunia
pertama sebagian besar daerah di Eropa sangat kacau, ekonomi rusak, populasi berkurang
drastis karena epidemi. Sejumlah besar pengungsi yang miskin dan orang yang
tidak mempunyai kewarganegaraan memenuhi benua itu. Perang tersebut sangat
jelas menunjukkan perlunya kerjasama yang kuat antara perhimpunan Palang Merah
yang karena aktivitasnya dalam masa perang dapat menarik ribuan sukarelawan. Henry P. Davison, Presiden Komite
Perang Palang Merah Amerika, mengusulkan pada konferensi internasional medis (April
1919, Cannes, Perancis) untuk “mem-federasikan perhimpunan palang merah dari
berbagai negara menjadi sebuah organisasi setara dengan liga bangsa-bangsa;
dalam hal peperangan dunia untuk memperbaiki kesehatan, mencegah penyakit dan
mengurangi penderitaan.”
Liga Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah[1] kemudian secara formal terbentuk dengan markas besarnya
di Paris oleh Perhimpunan Palang Merah dari Perancis, Inggris, Itali, Jepang,
Amerika Serikat pada tanggal 5 Mei 1919 dengan tujuan utama memperbaiki
kesehatan pada negara-negara yang telah sangat menderita setelah perang. Liga
itu juga bertujuan untuk ‘memperkuat dan menyatukan aktivitas kesehatan yang
sudah ada dalam Perhimpunan Palang Merah dan untuk mempromosikan pembentukan
perhimpunan baru.’ Bagian penting dari kerja Federasi adalah menyediakan dan
mengkoordinasi bantuan bagi korban bencana alam dan epidemi. Sejak 1939 markas
permanennya telah berada di Jenewa. Pada tahun 1991, keputusan diambil untuk
merubah nama Liga Perhimpunan Palang Merah menjadi Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah atau
IFRC (International Federation of the Red Cross and Red Crescent Societis).
Selanjutnya, baik IFRC, ICRC
dan Perhimpunan Nasional, merupakan bagian dari komponen Gerakan Palang Merah
dan Bulan Sabit Merah atau biasa disebut dengan ”Gerakan” saja. Komponen
Gerakan dalam menjalankan tugasnya sesuai Prinsip Dasar dan mandat
masing-masing sebagaimana yang disebut dalam Statuta Gerakan.
Komite Internasional Palang Merah/International Committeee
of the Red Cross (ICRC)
Sebagai sebuah
lembaga swasta dan mandiri, ICRC bertindak sebagai penengah yang netral antara
dua negara yang berperang atau bermusuhan dalam konflik bersenjata
Internasional, konflik bersenjata non-Internasional dan pada kasus-kasus
kekerasan internasional. Selain itu, juga berusaha untuk menjamin bahwa korban
kekerasan di atas, baik penduduk sipil maupun militer, menerima perlindungan
dan pertolongan.
Pada kasus-kasus
konflik bersenjata Internasional maupun non-Internasional, aksi kemanusiaan
ICRC didasarkan pada Konvensi dan protokol-protokolnya. Ini alasan mengapa kita
mengatakan bahwa sebuah mandat khusus telah dipercayakan kepada ICRC oleh
komunitas negara-negara peserta konvensi tersebut. Pada kasus-kasus kekerasan
internal, ICRC bertindak berdasar pada hak inisiatif kemanusiaan seperti
tercantum dalam Statuta Gerakan.
ICRC adalah pelindung
Prinsip-prinsip Dasar Gerakan dan pengambil keputusan atas pengakuan
perhimpunan-Perhimpunan Nasional, dimana dengan itu mereka menjadi bagian resmi
dari Gerakan. ICRC bekerja untuk mengembangkan HPI, menjelaskan,
mendiseminasikan dan mempromosikan Konvensi Jenewa. ICRC juga melaksanakan
kewajiban yang ditimpakan padanya berdasarkan Konvensi-konvensi tersebut dan
memastikan bahwa konvensi-konvensi itu dilaksanakan dan mengembangkannya
apabila perlu.
Perhimpunan Nasional/National Society
Perhimpunan Nasional Palang
Merah dan Bulan Sabit Merah adalah organisasi kemanusiaan yang ada di setiap
negara anggota penandatangan Konvensi Jenewa. Tidak ada negara yang dapat
memiliki lebih dari satu Perhimpunan Nasional. Sebelum sebuah perhimpunan baru
disetujui oleh ICRC dan menjadi anggota Federasi, beberapa syarat ketat harus
dipenuhi. Menurut Statuta Gerakan, Perhimpunan Nasional yang baru didirikan,
harus disetujui oleh ICRC. Untuk dapat memperoleh persetujuan dari ICRC, sebuah
Perhimpunan Nasional harus memenuhi 10 syarat yaitu:
•
Didirikan
disuatu Negara Peserta Konvensi Jenewa 1949
•
Satu-satunya
Perhimpunan PM/BSM Nasional di Negaranya
•
Diakui
oleh Pemerintah Negaranya
•
Memakai
nama dan lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah
•
Bersifat
mandiri
•
Memperluas
kegiatan di seluruh wilayah
•
Terorganisir
dalam menjalankan tugasnya dan dilaksanakan diseluruh wilayah negaranya
•
Menerima
anggota tanpa membedakan latar belakang
•
Menyetujui
Statuta Gerakan
•
Menghormati
Prinsip-prinsip Dasar Gerakan dan menjalankan tugasnya sejalan dengan
prinsip-prinsip HPI
Federasi
Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah/International
Federation of The Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC)
Seluruh Perhimpunan Nasional
adalah anggota dari IFRC. Badan ini mendukung aktivitas kemanusiaan yang
dilaksanakan oleh Perhimpunan Nasional atas nama kelompok-kelompok rentan dan
bertindak sebagai juru bicara dan sebagai wakil Internasional mereka. Federasi
mendukung Perhimpunan Nasional dan ICRC dalam usahanya untuk mengembangkan dan
menyebarluaskan pengetahuan tentang HPI dan mempromosikan Prinsip-prinsip Dasar
Gerakan.
Statuta Gerakan
Statuta Gerakan adalah salah
satu dasar yang menentukan struktur dan kewajiban ICRC, Federasi, dan Perhimpunan
Nasional. Statuta Gerakan disusun pada tahun 1928. Kemudian direvisi pada tahun
1952 direvisi lagi pada tahun 1986, tepatnya pada Konferensi Internasional yang
ke-25 yang dilaksanakan di Jenewa.
Statuta ICRC
ICRC menetapkan
statutanya pada tahun 1915. Semenjak itu mereka sudah merevisinya beberapa
kali. Khususnya, mereka berefleksi dan mengembangkan pokok-pokok pikiran dari
pasal 5 Statuta Gerakan. Untuk lebih persisnya, sebagai tambahan atas apa yang
sudah disebutkan di atas, statuta itu menyebutkan bahwa ICRC harus:
> Melindungi
dan mempromosikan penghormatan terhadap Prinsip-prinsip Dasar Gerakan, demikian
juga dengan penyebarluasan pengetahuan Hukum Perikemanusiaan Internasional
(HPI) yang dapat dipakai dalam konflik bersenjata;
> Mengakui
semua Perhimpunan Nasional yang dibentuk berdasarkan persyaratan yang tercantum
dalam Statuta Gerakan;
> Mengemban
tugas yang diberikan oleh Konvensi Jenewa dan memastikan bahwa HPI dilaksanakan
dangan setia;
> Menyediakan
perlindungan dan bantuan, dalam kapasitasnya sebagai penengah netral kepada
militer dan korban sipil dari konflik bersenjata dan mengelola, menjalankan
Badan Pusat Pencarian;
> Melaksanakan
mandat yang dipercayakan kepadanya oleh Konferensi Internasional.
Statuta Federasi
Statuta Federasi memutuskan tanggung-jawab
Federasi sebagai berikut:
> Bertindak
sebagai badan penghubung dan koordinasi permanen dari Perhimpunan-Perhimpunan
Nasional;
> Memberikan
bantuan kepada Perhimpunan Nasional yang mungkin memerlukan dan memintanya;
> Mempromosikan
pembentukan dan pengembangan Perhimpunan Nasional;
> Mengkoordinasi operasi bantuan yang
dilaksanakan oleh Perhimpunan Nasional dalam rangka membantu korban bencana
alam dan pengungsi di tempat di mana tidak ada konflik bersenjata.
Statuta Perhimpunan Nasional
Setiap Perhimpunan Nasional memiliki statuta
sendiri-sendiri. Walaupun mungkin berbeda satu dengan yang lain, statuta itu
harus mencerminkan semangat gerakan dan memperhatikan ketentuan-ketentuan umum
dalam Statuta Gerakan. Harus diperhatikan bahwa seperangkat “model statuta”
tersedia untuk digunalan oleh Perhimpunan Nasional. Tujuan untuk pembuatan
model tersebut pada tahun 1952 tidak untuk digunakan sebagai satu-satunya
peraturan bagi semua Perhimpunan Nasional tetapi untuk mewujudkan
prinsip-prinsip konvensi dan Gerakan, yang merupakan aplikasi universal. Model
statuta ini sudah diubah sampai berkali-kali dan pantas untuk menjadi pedoman
bagi Perhimpunan Nasional baru dalam membuat rancangan statutanya sendiri.
Referensi
1.
International Committee of
the Red Cross, 1994, Handbook of the
International Red Cross and Red Crescent Movement, ICRC, Geneva.
2.
International Committee of
the Red Cross, 1998, Mengenal Lebih Jauh
Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, ICRC, Geneva.
3.
Muin, Umar, 1999, Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
Internasional, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Lambang Palang Merah
dan Bulan Sabit Merah Internasional
A. Sejarah Lambang
Lambang Palang Merah
Sebelum Lambang Palang Merah diadopsi sebagai
Lambang yang netral untuk memberikan pertolongan kepada tentara yang terluka di
medan perang, pada waktu itu setiap pelayanan medis kemiliteran memiliki tanda
pengenal sendiri-sendiri dengan warna yang berbeda-beda. Austria misalnya,
menggunakan bendera putih. Perancis menggunakan bendera merah dan Spanyol
menggunakan bendera kuning. Akibatnya, walaupun tentara tahu apa tanda pengenal
dari personel medis mereka, namun biasanya mereka tidak tahu apa tanda pengenal
personel medis lawan mereka. Pelayanan medis pun tidak dianggap sebagai pihak
yang netral. Melainkan dipandang sebagai bagian dari kesatuan tentara, sehingga
tanda pengenal tersebut bukannya memberi perlindungan namun juga dianggap
sebagai target bagi tentara lawan yang tidak mengetahui apa artinya.
Lambat laun
muncul pemikiran yang mengarah kepada pentingnya mengadopsi Lambang yang
menawarkan status netral kepada mereka yang membantu korban luka dan
menjamin pula perlindungan mereka
yang membantu di medan perang. Kepentingan tersebut menuntut dipilihnya hanya satu
Lambang. Namun yang menjadi masalah kemudian, adalah memutuskan bentuk
Lambang yang akan digunakan oleh personel medis sukarela di medan perang. Dalam
suatu kurun waktu, ikat lengan berwarna putih dipertimbangkan sebagai salah
satu kemungkinan. Namun, warna putih telah digunakan dalam konflik bersenjata
oleh pembawa bendera putih tanda gencatan senjata, khususnya untuk menyatakan
menyerah. Penggunaan warna putih pun dapat menimbulkan kebingungan sehingga
perlu dicari suatu kemungkinan Lambang lainnya.
Delegasi dari
Konferensi Internasional tahun 1863 akhirnya memilih Lambang Palang Merah di
atas dasar putih, warna kebalikan dari bendera nasional Swiss (palang putih
diatas dasar merah) sebagai bentuk penghormatan terhadap Negara Swiss yang
memfasilitasi berlangsungnya Konferensi Internasional saat itu. Bentuk Palang Merah pun memberikan keuntungan
teknis karena dinilai memiliki desain yang sederhana sehingga mudah dikenali
dan mudah dibuat. Selanjutnya pada tahun 1863,
Konferensi Internasional bertemu di Jenewa dan sepakat mengadopsi Lambang
Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda pengenal perhimpunan bantuan
bagi tentara yang terluka – yang kemudian berubah menjadi Perhimpunan Nasional
Palang Merah. Pada tahun 1864, Lambang Palang Merah di atas dasar putih secara
resmi diakui sebagai tanda pengenal pelayanan medis angkatan bersenjata.
Lambang Bulan Sabit Merah
Delegasi dari Konferensi 1863
tidak memiliki sedikitpun niatan untuk menampilkan sebuah simbol kepentingan
tertentu, dengan mengadopsi Palang Merah di atas dasar putih. Namun pada tahun
1876 saat Balkan dilanda perang, sejumlah pekerja kemanusiaan yang tertangkap
oleh Kerajaan Ottoman (saat ini Turki) dibunuh semata-mata karena mereka
memakai ban lengan dengan gambar Palang Merah. Ketika Kerajaan diminta
penjelasan mengenai hal ini, mereka menekankan mengenai kepekaan tentara
kerajaan terhadap Lambang berbentuk palang dan mengajukan agar Perhimpunan
Nasional dan pelayanan medis militer mereka diperbolehkan untuk menggunakan
Lambang yang berbeda yaitu Bulan Sabit Merah. Gagasan ini perlahan-lahan
mulai diterima dan memperoleh semacam pengesahan dalam bentuk “reservasi” dan
pada Konferensi Internasional tahun 1929 secara resmi diadopsi sebagai Lambang
yang diakui dalam Konvensi, bersamaan dengan Lambang Singa dan Matahari
Merah di atas dasar putih yang saat itu dipilih oleh Persia (saat ini
Iran). Tahun 1980, Republik Iran memutuskan untuk tidak lagi menggunakan
Lambang tersebut dan memilih memakai Lambang Bulan Sabit Merah.
Perkembangan Lambang: Kristal Merah
Pada Konferensi
Internasional yang ke-29 tahun 2006,
sebuah keputusan penting lahir, yaitu diadopsinya Lambang Kristal
Merah sebagai Lambang keempat dalam Gerakan dan memiliki status yang sama
dengan Lambang lainnya yaitu Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Konferensi
Internasional yang mengesahkan Lambang Kristal Merah tersebut, mengadopsi
Protocol Tambahan III tentang penambahan Lambang Kristal Merah untuk Gerakan,
yang sudah disahkan sebelumnya pada Konferensi Diplomatik tahun 2005. Usulan membuat Lambang keempat, yaitu Kristal
Merah, diharapkan dapat menjadi jawaban, ketika Lambang Palang Merah dan Bulan
Sabit Merah tidak bisa digunakan dan ‘masuk’ ke suatu wilayah konflik. Mau
tidak mau, perlu disadari bahwa masih banyak pihak selain Gerakan yang
menganggap bahwa Lambang terkait dengan simbol kepentingan tertentu.
Penggunaan Lambang Kristal Merah sendiri pada
akhirnya memilliki dua pilihan yaitu: dapat digunakan secara penuh oleh suatu
Perhimpunan Nasional, dalam arti mengganti Lambang Palang Merah atau Bulan
Sabit Merah yang sudah digunakan sebelumnya, atau menggunakan Lambang Kristal
Merah dalam waktu tertentu saja ketika Lambang lainnya tidak dapat diterima di
suatu daerah. Artinya, baik Perhimpunan Nasional, ICRC dan Federasi pun dapat
menggunakan Lambang Kristal Merah dalam suatu operasi kemanusiaan tanpa
mengganti kebijakan merubah Lambang sepenuhnya.
B. Ketentuan Lambang
Bentuk dan Penggunaan
Ketentuan mengenai bentuk dan
penggunaan Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ada dalam:
1.
Konvensi Jenewa I Pasal 38 –
45
2.
Konvensi Jenewa II Pasal 41 –
45
3.
Protokol 1 Jenewa tahun 1977
4.
Ketetapan Konferensi
Internasional Palang Merah XX tahun 1965
5.
Hasil Kerja Dewan Delegasi
Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional tahun 1991
Pada penggunaannya,
penempatan Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah tidak boleh sampai
menyentuh pinggiran dan dasar putihnya. Lambang harus utuh dan tidak boleh
ditambah lukisan, gambar atau tulisan. Pada Lambang Bulan Sabit Merah, arah
menghadapnya (ke kanan atau ke kiri) tidak ditentukan, terserah kepada
Perhimpunan yang menggunakannya.
Selanjutnya, aturan
penggunaan Lambang bagi Perhimpunan Nasional maupun bagi lembaga yang menjalin
kerjasama dengan Perhimpunan Nasional, misalnya untuk penggalangan dana dan
kegiatan sosial lainnya tercantum dalam “Regulations on the Use of the
Emblem of the Red Cross and of the Red Crescent by National Societies”.
Peraturan ini, yang diadopsi di Budapest bulan November 1991, mulai berlaku
sejak 1992.
Fungsi Lambang
Telah ditentukan bahwa
Lambang memiliki fungsi untuk :
> Tanda Pengenal yang berlaku
di waktu damai
> Tanda Perlindungan yang berlaku diwaktu damai dan perang/konflik
Apabila digunakan sebagai Tanda Pengenal, Lambang tersebut harus dalam ukuran kecil,
berfungsi pula untuk mengingatkan bahwa institusi di atas bekerja sesuai dengan
Prinsip-prinsip Dasar Gerakan. Pemakaian Lambang sebagai Tanda Pengenal juga
menunjukan bahwa seseorang, sebuah kendaraan atau bangunan berkaitan dengan
Gerakan. Untuk itu, Gerakan secara organisasi dapat mengatur secara teknis
penggunaan Tanda Pengenal misalnya dalam seragam, bangunan, kendaraan dan
sebagainya. Penggunaan Lambang sebagai Tanda Pengenal pun harus didasarkan pada
undang-undang nasional mengenai Lambang untuk Perhimpunan Nasionalnya.
Apabila Lambang digunakan sebagai tanda pelindung, Lambang tersebut harus
menimbulkan sebuah reaksi otomatis untuk menahan diri dan menghormati di antara
kombatan. Lambang harus selalu ditampakkan dalam bentuknya yang asli.
Dengan kata lain, tidak boleh ada sesuatupun yang ditambahkan padanya – baik
terhadap Palang Merah, Bulan Sabit Merah ataupun pada dasarnya yang putih.
Karena Lambang tersebut harus dapat dikenali dari jarak sejauh mungkin,
ukurannya harus besar, yaitu sebesar yang diperlukan dalam situasi perang.
Lambang menandakan adanya perlindungan bagi:
> Personel medis
dan keagamaan angkatan bersenjata
> Unit dan
fasilitas medis angkatan bersenjata
> Unit
dan transportasi medis Perhimpunan Nasional apabila digunakan sebagai
perbantuan terhadap pelayanan medis angkatan bersenjata
> Peralatan medis.
Penyalahgunaan
Lambang
Setiap negara peserta Konvensi Jenewa memiliki kewajiban membuat peraturan atau undang-undang untuk mencegah dan
mengurangi penyalahgunaan Lambang. Negara secara khusus harus mengesahkan suatu
peraturan untuk melindungi Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah.
Dengan demikian, pemakaian Lambang yang tidak diperbolehkan oleh Konvensi
Jenewa dan Protokol Tambahan merupakan pelanggaran hukum. Bentuk-bentuk
penyalahgunaan Lambang yaitu:
>
Peniruan (Imitation):
Penggunaan tanda-tanda yang dapat disalah artikan sebagai
lambang Palang Merah atau bulan sabit merah (misalnya warna dan bentuk yang
mirip). Biasanya digunakan untuk tujuan komersial.
> Penggunaan
yang Tidak Tepat (Usurpation):
Penggunaan lambang Palang Merah atau bulan sabit merah
oleh kelompok atau perseorangan (perusahaan
komersial, organisasi non-pemerintah, perseorangan, dokter swasta,
apoteker dsb) atau penggunaan lambang oleh orang yang berhak namun digunakan
untuk tujuan yang tidak sesuai dengan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan (misalnya
seseorang yang berhak menggunakan lambang namun menggunakannya untuk dapat
melewati batas negara dengan lebih mudah pada saat tidak sedang tugas).
> Penggunaan
yang Melanggar Ketentuan/Pelanggaran Berat (Perfidy/Grave
misuse)
Penggunaan lambang Palang Merah atau bulan sabit merah
dalam masa perang untuk melindungi kombatan bersenjata atau perlengkapan
militer (misalnya ambulans atau helikopter ditandai dengan lambang untuk
mengangkut kombatan yang bersenjata; tempat penimbunan amunisi dilindungi
dengan bendera Palang Merah) dianggap sebagai kejahatan perang.
Referensi
4.
Direktorat Jenderal Hukum
Perundang-undangan Departemen Kehakiman, 1999, Terjemahan Konvensi Jenewa tahun 1949, Departemen Hukum dan
Perundang-undangan, Jakarta.
5.
International Committee of the
Red Cross, 1994, Handbook of the
International Red Cross and Red Crescent Movement, ICRC, Geneva.
6.
International Committee of
the Red Cross, 2005, Protocol Additional
to the Geneva Conventions of 12 August 1949 and Relating to the Adoption of an
Additional Distinctive Emblem (Protocol III). ICRC, Geneva.
7.
International Committee of
the Red Cross,1991, Regulation on the Use
of the Emblem of the Red Cross or the Red Crescent by the National Societies,
ICRC, Geneva, 1991.
8.
Palang Merah Indonesia, 2006,
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Palang Merah Indonesia tahun 2004 – 2009, Markas Pusat PMI, Jakarta.
9.
Muin, Umar, 1999, Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
Internasional, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Prinsip Dasar Gerakan Palang Merah
dan Bulan Sabit Merah Internasional
A. Sejarah Munculnya Prinsip Dasar
Definisi
Kata “prinsip” berasal dari
bahasa Latin “principium” yang berarti penyebab utama, asal atau dasar. Prinsip
juga dapat berarti ‘suatu aturan-aturan dasar yang mengekspresikan nilai-nilai
dasar suatu kelompok komunitas yang tidak berubah-ubah dalam keadaan apapun.’
Sebagai contoh, penghargaan kepada individu adalah suatu prinsip yang mendasari
kemerdekaan.
Landasan
Banyaknya Perhimpunan
Nasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang bekerja dalam konteks yang
berbeda-beda, dengan puluhan juta anggota, Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit
Merah memiliki warna yang beraneka ragam. Lebih dari itu, pekerjaannya pada
dasarnya terdiri dari kegiatan sehari-hari yang praktis dan yang seringkali
diimprovisasi. Dalam rangka mengatasi perbedaan ini, meminimalisasi
ketidakcocokan dan memupuk tindakan yang konsisten dan efektif, Gerakan
memerlukan standar yang universal sebagai referensi, seperangkat kebijakan dan
pendekatan yang umum; dengan kata lain, Prinsip-prinsip Dasar.
Batasan
Pekerjaan Gerakan pada
awalnya relatif lebih sederhana, karena tugasnya terbatas pada pemberian
bantuan pada tentara yang luka dan sakit dalam masa perang. Namun dengan
berlalunya waktu, tugasnya menjadi lebih luas dan beraneka-ragam. Untuk tetap
dapat mengontrol kegiatannya yang terus berkembang, dan menghindari perpecahan,
Gerakan memformulasikan prinsip mereka sendiri untuk diketahui oleh semua orang
dan untuk lebih dapat mendefinisikan jenis kegiatan kemanusiaan mereka.
Asal-usul
Sebelum Gerakan mengadopsi
tujuh Prinsip Dasar yang ada saat ini, telah banyak kategori Prinsip yang
diajukan. Usulan adanya Prinsip Dasar bagi Gerakan, semula terdapat pada
Deklarasi Oxford (1946),
namun teks masih kasar dan lepas-lepas. Pada
tahun 1949, adanya Prinsip Dasar telah
disebutkan pula dalam konvensi I (pasal 44) dan konvensi IV (pasal 63).
Selanjutnya berkembang pada tahun 1955 dimana Jean
Pictet mulai menulis penelitiannya secara sistematik dan membagi Prinsip menjadi
2 kategori yaitu Prinsip Dasar (fumandental) dan Prinsip Organis (Organic).
Pada konteks Palang Merah, suatu prinsip menurut Jean Pictet
adalah aturan-aturan tindakan yang wajib, berdasar pada pertimbangan dan
pengalaman, yang mengatur kegiatan dari semua komponen Gerakan pada setiap
saat. Sejak tahun 1965, Buku
Pictet pun menjadi dasar pertimbangan tertulis dan resmi diumumkan di Viena,
konverensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ke-20. namun
demikian, baru pada tahu 1979, Pictet menulis uraian tentang Prinsip Dasar yang
ditulisnya. Secara resmi, Konverensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit
Merah ke-25 mengadopsi Tujuh Prinsip Dasar dan memasukannya kedalam pembukaan
statuta baru. Ketujuh Prinsip dasar itu meliputi : Kemanusiaan, Kesamaan,
Kenetralan, Kemandirian, Kesukarelaan, Kesatuan dan Kesemestaan.
Makna dan Kategori
Ketujuh prinsip
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Prinsip-prinsip tersebut
dapat dilihat sebagai suatu piramida yang akan rusak apabila salah satu
bagiannya jatuh atau diambil. Meskipun setiap bagian saling terikat dan
tergantung, masing-masing memiliki peranan sendiri-sendiri. Prinsip-prinsip ini
dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu:
> Prinsip Substantif/utama,
meliputi Kemanusiaan dan Kesamaan
Prinsip-prinsip ini berlaku
sebagai inspirasi organisasi, merupakan tujuan dari Gerakan, menentukan
tindakan-tindakan di masa perang, pada saat bencana alam atau kegiatan lain
yang dilakukan untuk melayani umat manusia.
> Prinsip
Derivatif/ turunan, meliputi Kenetralan dan Kemandirian
Prinsip yang memungkinkan
untuk mengaplikasikan prinsip substansi / utama, menjamin kepercayaan semua
orang dan memungkinkan Gerakan untuk mencapai tujuannya tanpa masalah.
> Prinsip dan
organis, meliputi Kesukarelaan, Kesatuan dan Kesemestaan.
Prinsip-prinsip ini sebagai
standar untuk aplikasi, berhubungan dengan struktur dan operasi organisasi,
merupakan ‘batu fondasi’ dari Gerakan. Tanpanya Gerakan tidak dapat
bertindak atau akan menghilang secara perlahan.
Hubungan Antarprinsip
Prinsip-prinsip
ini saling berhubungan. Hubungan antar prinsip sangatlah logis, sehingga
pada tingkatan tertentu setiap prinsip berasal dari prinsip lainnya.
Prinsip non-diskriminasi (kesamaan) berhubungan dengan prinsip inti Kemanusiaan. “Ras dan agamamu tidak
penting untukku. Hanya kenyataan bahwa kamu menderita,” kata Louis Pasteur.
Pernyataan ini memberi penjelasan bahwa konsep non-diskriminasi secara luas
sangat berkaitan dengan dengan konsep Kemanusiaan. Satu mendukung yang lainnya.
Prinsip proporsional (dalam Kesamaan)
berasal dari prinsip Kemanusiaan dan non-diskriminasi (Kesamaan). Dapat
ditambahkan pada pernyataan Pasteur “... dan aku akan merawatmu berdasarkan
tingkat keparahan penderitaanmu.” Bantuan terbesar harus diberikan kepada
mereka yang memiliki kebutuhan terbesar. Perhatian khusus atas
“keseimbangan/proporsionalitas” adalah konsekwensi logis dari kedua prinsip di
atas.
Kenetralan dan kemandirian bukan hanya saling berkaitan satu dengan lainnya, namun
juga berkaitan dengan non-diskriminasi (kesamaan). Tentu saja seseorang tidak
dapat menyatakan dirinya netral selagi ia berada di bawah kekuasaan orang lain.
Begitu pula seseorang tidak dapat menyatakan dirinya mandiri apabila ia
memihak. Kecerobohan terkecil dalam hal ini akan menyebabkan salah satu dari
Prinsip ini terdengar kosong dan tidak berarti. Karenanya kedua prinsip ini
sungguh-sungguh saling bergantung satu dengan lainnya, dan tidak terpisahkan
dengan prinsip non-diskriminasi, yang muncul sebagai suatu kewajiban untuk
bertindak tanpa pilih kasih.
Kesukarelaan (termasuk tidak pamrih) terkait dengan Kemanusiaan.
Untuk menyatakan bahwa seseorang “memiliki rasa amal terhadap orang lain” atau
“ikut menderita bersama mereka” (dua definsi yang dapat diberikan pada prinsip
Kemanusiaan) tidaklah sesuai dengan sikap perhitungan dan mementingkan diri
sendiri. Sifat tidak pamrih dengan demikian merupakan satu aspek dari prinsip
ini. Kesatuan berkait dengan non-diskriminasi (kesamaan): kesatuan berarti bahwa hanya boleh ada satu perhimpunan
nasional di setiap negara. Sebagaimana yang tampak nyata, ada resiko besar
bahwa Perhimpunan Nasional dapat terpengaruh atau jatuh ke suatu kecenderungan
pandangan tertentu. Dengan demikian, non-diskriminasi sangatlah penting bagi
Kesatuan. Kesemestaan merupakan
sebagian dari lanjutan kemanusiaan dan non-diskriminasi. Prinsip Kemanusiaan
tidak hanya berlaku bagi penderitaan mereka yang dekat dengan kita
(diskriminasi). Apabila demikian maka “memiliki rasa amal terhadap orang lain”
menjadi tidak murni lagi karena hanya menyangkut pada orang-orang tertentu
saja. Maka secara logis, Kemanusiaan dan non-diskriminasi bersifat universal.
Implementasi Prinsip Dasar
dalam Aktivitas Kepalangmerahan
a) Kemanusiaan
”Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional didirikan
berdasarkan keinginan memberi pertolongan tanpa membedakan korban yang terluka
di dalam pertempuran, mencegah dan mengatasi penderitaan sesama manusia. Palang
Merah menumbuhkan saling pengertian, persahabatan, kerjasama dan perdamaian
abadi bagi sesama manusia.”
Mewakili asal-usul Gerakan,
prinsip kemanusiaan menyatakan bahwa tidak boleh satupun pelayanan yang
menguntungkan seseorang yang menderita di manapun mereka berada, ditiadakan.
Tujuannya adalah untuk melindungi hidup dan kesehatan serta menjamin
penghargaan terhadap manusia. Di masa damai, perlindungan berarti mencegah
penyakit, bencana atau kecelakaan atau mengurangi efeknya dengan menyelamatkan
hidup (mis. pelatihan Pertolongan
Pertama). Di masa perang, artinya adalah pemberian bantuan kepada mereka yang
dilindungi oleh HPI (agar korban tidak meninggal kelaparan, tidak diperlakukan
secara semena-semena, atau tidak menghilang). Kemanusiaan meningkatkan saling
pengertian, persahabatan, kerjasama dan perdamaian abadi bagi sesama manusia.
b) Kesamaan
”Gerakan ini tidak membuat
perbedaan atas dasar kebangsaan, kesukuan, agama atau pandangan politik.
Tujuannya semata-mata mengurangi penderitaan manusia sesuai dengan kebutuhannya
dan mendahulukan keadaan yang paling parah”
Non-diskriminasi terhadap kebangsaan, suku, agama, golongan atau
pandangan politik adalah sebuah aturan wajib yang menuntut agar segala
perbedaan antara pribadi dikesampingkan, bahwa kawan maupun lawan dibantu
secara merata, dan diberikan berdasarkan pertimbangan kebutuhan. Prioritas
pemberian bantuan harus berdasarkan tingkat kedaruratannya serta proporsional
dengan penderitaan yang ingin diatasi.
c) Kenetralan
”Agar senantiasa mendapat
kepercayaan dari semua pihak, gerakan ini tidak boleh memihak atau melibatkan
diri dalam pertentangan politik, kesukuan, agama atau ideologi.”
Kenetralan berarti menahan
diri dari memihak dalam permasalahan politik, agama, ras atau ideologi.
Apabila Palang Merah atau Bulan Sabit Merah memihak, mereka akan kehilangan
kepercayaan dari salah satu kelompok masyarakat dan sulit untuk melanjutkan
ativitas mereka. Setiap anggota Gerakan dituntut untuk dapat menahan diri,
bersikap netral dan tidak mengungkapkan pendapat mereka selama sedang bertugas.
d) Kemandirian
”Gerakan ini bersifat mandiri. Perhimpunan Nasional di samping membantu
Pemerintahnya dalam bidang kemanusiaan, juga harus mentaati peraturan
negaranya, harus selalu menjaga otonominya sehingga dapat bertindak sejalan
dengan prinsip-prinsip gerakan ini.”
Secara umum, kemandirian
berarti bahwa institusi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah menolak
segala jenis campur tangan yang bersifat politis, ideologis atau ekonomis yang
dapat mengalihkan mereka dari jalur kegiatan yang telah ditetapkan oleh
tuntutan kemanusiaan. Contohnya, tidak boleh menerima sumbangan uang dari
siapapun yang mensyaratkan bahwa peruntukkannya ditujukan bagi sekelompok orang
secara khusus berdasarkan alasan politis, kesukuan atau agama dengan
mengesampingkan kelompok lainnya yang kebutuhannya mungkin lebih mendesak.
Tidak ada suatu institusi Palang Merah pun yang boleh tampak sebagai alat
kebijakan pemerintah. Walaupun Perhimpunan Nasional diakui oleh pemerintahnya
sebagai alat bantu pemerintah, dan harus tunduk pada hukum negaranya, mereka harus
selalu menjaga otonomi mereka agar dapat bertindak sesuai dengan prinsip
Gerakan setiap saat.
e) Kesukarelaan
“Gerakan ini adalah gerakan pemberi bantuan sukarela, yang tidak
didasari oleh keinginan untuk mencari keuntungan apa pun.”
Kesukarelaan adalah proposal yang sangat tidak mementingkan diri sendiri
dari seseorang yang melaksanakan suatu tugas khusus untuk orang lain dalam
semangat persaudaraan manusia. Apakah dilakukan tanpa bayaran maupun untuk
suatu pengakuan atau kompensasi, faktor utama adalah bahwa pelaksanaannya
bukanlah dengan keinginan untuk memperoleh keuntungan finansial namun dengan komitmen
pribadi dan kesetiaan terhadap tujuan kemanusiaan.
f) Kesatuan
”Di dalam suatu negara hanya ada satu perhimpunan Palang Merah dan Bulan
Sabit Merah yang terbuka untuk semua orang dan melaksanakan tugas kemanusiaan
di seluruh wilayah.”
Prinsip kesatuan secara khusus berhubungan dengan struktur institusi dari
Perhimpunan Nasional. Di negara manapun, peraturan pemerintah yang mengakui
sebuah Perhimpunan Nasional biasanya menyatakan bahwa Perhimpunan tersebut
merupakan satu-satunya Perhimpunan Nasional yang dapat melaksanakan
segala kegiatannya di wilayah nasional. Kenyataan bahwa sebuah Perhimpunan
merupakan satu-satunya di negaranya juga merupakan salah satu syarat agar dapat
diakui oleh ICRC.
g) Kesemestaan
”Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional adalah
bersifat semesta. Setiap Perhimpunan Nasional mempunyai hak dan tanggung jawab
yang sama dalam menolong sesama manusia.”
Kesemestaan penderitaan
memerlukan respon yang semesta juga. Prinsip kesemestaan menuntut tanggung
jawab secara kolektif di pihak
Gerakan. Kesamaan dari status dan hak dari Perhimpunan Nasional
direfleksikan dalam kenyataan bahwa dalam konferensi dan dalam badan pemerintah
Gerakan, setiap Perhimpunan Nasional memiliki satu suara, hal mana melarang
pemberian hak suara istimewa maupun kursi tetap kepada Perhimpunan Nasional
tertentu.
Referensi
10.
International
Committee of the Red Cross, 1994, Handbook
of the International Red Cross and Red Crescent Movement, ICRC &
Federation, Geneva.
11.
IFRC, Film
“Helpman”, IFRC, Geneva.
12.
IFRC, Film
“Principles to action”, IFRC, Geneva.
13.
Muin, Umar, 1999, Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
Internasional, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
14.
PMI Statutes
15.
Pictet, Jean S, 1956, Red Cross Principles, ICRC, Geneva.
16.
Pictet, Jean S. 1979, The Fundamental Principles of the Red Cross:
Commentary, Henry Dunant Institute, Geneva.
Hukum Perikemanusiaan Internasional
A. Sejarah HPI
Salah apabila
kita mengatakan bahwa pendirian Palang Merah di tahun 1863 ataupun pengadopsian
Konvensi Jenewa pertama tahun 1864 menandakan kelahiran hukum perikemanusiaan
sebagaimana yang kita kenal saat ini. Sebagaimana tidak ada satu masyarakat
yang tidak memiliki seperangkat aturan, begitu pula tidak pernah ada perang
yang tidak memiliki aturan jelas maupun samar-samar yang mengatur tentang mulai
dan berakhirnya suatu permusuhan, serta bagaimana perang itu dilaksanakan.
HPI sudah terintis sejak dulu
sebelum Gerakan berdiri. Pada awalnya ada aturan tidak tertulis berdasarkan kebiasaan yang
mengatur tentang sengketa bersenjata. Kemudian perjanjian bilateral (kartel)
yang kerincian aturannya berbeda-beda, lambat-laun mulai diberlakukan.
Pihak-pihak yang bertikai kadangkala meratifikasinya setelah permusuhan
berakhir. Ada pula peraturan yang dikeluarkan oleh negara kepada
pasukannya (lihat “Kode Lieber”). Hukum yang saat itu ada terbatas pada
waktu dan tempat, karena hanya berlaku pada satu pertempuran atau sengketa
tertentu saja. Aturannya juga bervariasi, tergantung pada masa, tempat, moral
dan keberadaban.
Dari sejak permulaan perang sampai pada munculnya hukum
perikemanusiaan yang kontemporer, lebih dari 500 kartel, aturan bertindak (code
of conduct), perjanjian dan tulisan-tulisan lain yang dirancang untuk
mengatur tentang pertikaian telah dicatat. Termasuk di dalamnya Lieber Code,
yang mulai berlaku pada bulan April 1863 dan memiliki nilai penting karena
menandakan percobaan pertama untuk mengkodifikasi hukum dan kebiasaan perang
yang ada. Namun, tidak seperti Kovensi Jenewa yang dibentuk setahun setelah
itu, Lieber Code ini tidak memiliki status perjanjian sebagaimana yang
dimaksudkannya karena hanya diberlakukan kepada tentara Union yang berperang
pada waktu Perang Saudara di Amerika.
Ada dua pria memegang peran penting dalam pembentukan HPI
selanjutnya, yaitu Henry Dunant dan Guillaume-Henri Dufour.
Dunant memformulasikan gagasan tersebut dalam Kenangan dari Solferino (A
Memory of Solferino), diterbitkan tahun 1862. Berdasarkan pengalamannya
dalam perang, General Dufour tanpa membuang-buang waktu menyumbangkan dukungan
moralnya, salah satunya dengan memimpin Konferensi Diplomatik tahun 1864.
Terhadap usulan dari kelima anggota pendiri ICRC,
Pemerintah Swiss mengadakan Konferensi
Diplomatik tahun 1864, yang dihadiri oleh 16 negara yang mengadopsi Konvensi
Jenewa untuk perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam angkatan bersenjata di
medan pertempuran darat.
Definisi
Hukum Perikemanusiaan Internasional membentuk sebagian besar dari Hukum
Internasional Publik dan terdiri dari peraturan yang melindungi orang yang
tidak atau tidak lagi terlibat dalam persengketaan dan membatasi alat dan cara
berperang di masa sengketa bersenjata.
Lebih tepatnya, yang dimaksud ICRC
dengan hukum perikemanusiaan yang berlaku di masa sengketa bersenjata adalah
semua ketentuan yang terdiri dari perjanjian dan kebiasaan internasional yang
bermaksud untuk mengatasi segala masalah kemanusiaan yang timbul pada waktu
pertikaian bersenjata internasional maupun non-internasional; hukum tersebut
membatasi atas dasar kemanusiaan, hak-hak dari pihak yang terlibat dalam
pertikaian untuk memilih cara-cara dan alat peperangan, serta memberikan
perlindungan kepada orang yang menjadi korban maupun harta benda yang terkena
dampak pertikaian bersenjata.
Kombatan hanya boleh menyerang target militer, wajib
menghormati non-kombatan dan objek sipil dan menghindari penggunaan kekerasan
yang berlebihan. Istilah hukum perikemanusiaan internasional, hukum
humaniter, hukum sengketa bersenjata dan hukum perang dapat
dikatakan sama pengertiannya. Organisasi internasional, perguruan tinggi dan
bahkan Negara cenderung menggunakan istilah hukum perikemanusiaan internasional
(atau hukum humaniter), sedangkan istilah hukum sengketa bersenjata dan hukum
perang biasa digunakan oleh angkatan bersenjata. Palang Merah Indonesia sendiri
menggunakan istilah Hukum Perikemanusiaan Internasional.
Hukum Jenewa dan Hukum Den
Haag
Hukum Perikemanusiaan Internasional (HPI) –
dikenal juga dengan nama hukum sengketa bersenjata atau hukum perang – memiliki
dua cabang yang terpisah:
> Hukum
Jenewa, atau hukum humaniter, yaitu hukum yang dibentuk untuk
melindungi personil militer yang tidak lagi terlibat dalam peperangan dan
mereka yang tidak terlibat secara aktif dalam pertikaian, terutama penduduk
sipil;
> Hukum
Den Haag, atau hukum perang, adalah hukum yang menentukan hak dan kewajiban
pihak yang bertikai dalam melaksanakan operasi militer dan membatasi cara
penyerangan.
Kedua cabang HPI ini tidaklah benar-benar terpisah,
karena efek beberapa aturan dalam hukum Den Haag adalah melindungi korban
sengketa, sementara efek dari beberapa aturan hukum Jenewa adalah membatasi
tindakan yang diambil oleh pihak yang bertikai di masa perperangan. Dengan
mengadopsi Protokol Tambahan 1977 yang mengkombinasikan kedua cabang HPI,
pembedaan di atas kini tinggal memiliki nilai sejarah dan pendidikan.
Prinsip
Hukum perikemanusiaan didasarkan pada prinsip pembedaan antara
kombatan dan non-kombatan serta antara objek sipil dan objek militer. Prinsip
necessity atau kepentingan kemanusiaan dan militer, perlunya menjaga
keseimbangan antara kepentingan kemanusiaan di satu pihak dengan kebutuhan
militer dan keamanan di pihak lain. Prinsip pencegahan penderitaan yang
tidak perlu (unecessary suffering), yaitu hak pihak yang bertikai
untuk memilih cara dan alat untuk berperang tidaklah tak terbatas, dan para
pihak tidak diperbolehkan mengakibatkan penderitaan dan kehancuran secara
melampaui batas serta tidak seimbang
dengan tujuan yang hendak dicapai, yaitu melemahkan atau menghancurkan potensi
militer lawan. Prinsip proporsionalitas,
mencoba untuk menjaga keseimbangan antara dua kepentingan yang
berbeda, kepentingan yang berdasarkan pertimbangan atas kebutuhan militer, dan
yang lainnya berdasarkan tuntutan kemanusiaan, apabila hak atau larangannya
tidak mutlak.
Aturan Dasar
ICRC telah memformulasikan tujuh aturan yang mencakup inti dari hukum
perikemanusian internasional. Aturan-aturan ini tidak memiliki kekuatan hukum
seperti sebuah perangkat hukum internasional dan tidak dimaksudkan untuk
menggantikan perjanjian-perjanjian yang berlaku.
1. Orang yang tidak atau tidak dapat lagi
mengambil bagian dalam pertikaian patut memperoleh penghormatan atas hidupnya,
atas keutuhan harga diri dan fisiknya. Dalam setiap kondisi, mereka harus
dilidungi dan diperlakukan secara manusiawi, tanpa pembedaan berdasarkan apa
pun.
2. Dilarang untuk membunuh atau melukai lawan yang
menyerah atau yang tidak
dapat lagi ikut serta dalam pertempuran.
3. Mereka yang terluka dan yang sakit harus
dikumpulkan dan dirawat oleh pihak bertikai yang menguasai mereka. Personil
medis, sarana medis, transportasi medis dan peralatan medis harus dilindungi.
Lambang palang merah atau bulan sabit merah di atas dasar putih adalah tanda perlindungan atas personil dan
objek tersebut di atas, dan harus dihormati.
4. Kombatan
dan penduduk sipil yang berada di
bawah penguasaan pihak lawan berhak untuk memperoleh penghormatan atas
hidup, harga diri, hak pribadi, keyakinan politik, agama dan keyakinan lainnya.
Mereka harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan ataupun balas dendam.
Mereka berhak berkomunikasi dengan keluarganya serta berhak menerima bantuan.
5. Setiap
orang berhak atas jaminan peradilan dan tak seorangpun dapat dituntut untuk bertanggungjawab
atas suatu tindakan yang tidak dilakukannya. Tidak seorangpun dapat dijadikan
sasaran penyiksaan fisik maupun mental atau hukuman badan yang kejam yang
merendahkan martabat ataupun perlakuan lainnya.
6. Tidak
satu pun pihak bertikai maupun anggota angkatan bersenjatanya mempunyai hak tak terbatas untuk
memilih cara dan alat berperang. Dilarang untuk menggunakan alat dan cara
berperang yang berpotensi mengakibatkan penderitaan dan kerugian yang tak
perlu.
7. Pihak
bertikai harus selalu membedakan antara penduduk sipil dan kombatan dalam
rangka melindungi penduduk sipil dan hak milik mereka. Penduduk sipil, baik secara
keseluruhan maupun perseorangan tidak boleh diserang. Penyerangan hanya boleh
dilakukan semata-mata kepada objek militer.
Konvensi Jenewa
Konvensi Jenewa 1864 meletakkan dasar-dasar bagi hukum
perikemanusiaan modern. Karakter utamanya adalah:
>
aturan tertulis yang memiliki jangkauan internasional untuk melindungi korban sengketa;
> sifatnya
multilateral, terbuka untuk semua negara;
>
adanya kewajiban untuk melakukan perawatan tanpa diskriminasi kepada personil
militer yang terluka dan sakit;
>
penghormatan dan pemberian tanda kepada personil medis, transportasi dan
perlengkapannya menggunakan sebuah lambang (palang merah di atas dasar putih).
Diawali dengan Konvensi Jenewa pertama tahun 1864, hukum perikemanusiaan
modern berkembang dalam berbagai tahap, seringkali setelah sebuah kejadian di
mana konvensi tersebut dibutuhkan, untuk memenuhi kebutuhan akan bantuan
kemanusiaan yang terus berkembang sebagai akibat dari perkembangan dalam
persenjataan serta jenis-jenis sengketa.
Perang Dunia I (1914-1918) menyaksikan penggunaan cara perang yang, (kalau
tidak dapat dikatakan baru) dilakukan dalam skala yang tidak dikenal
sebelumnya. Termasuk di dalamnya gas beracun, pemboman dari udara, dan
penangkapan ratusan tawanan perang. Perjanjian di tahun 1925 dan 1929
merupakan tanggapan dari perkembangan ini.
Perang Dunia II (1939-1945) menyaksikan penduduk sipil dan personil militer
tewas dalam jumlah yang seimbang, berbeda dengan saat Perang Dunia I, di mana
perbandingannya adalah 1:10. Tahun 1949 masyarakat internasional bereaksi
terhadap angka yang tragis tersebut, terlebih lagi terhadap efek buruk yang
menimpa penduduk sipil, dengan merevisi Konvensi yang saat itu sedang berlaku
dan mengadopsi perangkat hukum lain: Konvensi Jenewa ke-4 tentang
perlindungan terhadap penduduk sipil. Belakangan di tahun 1977, Protokol Tambahan
merupakan tanggapan atas efek kemanusiaan dalam perang kemerdekaan
nasional, yang hanya diatur sebagian di dalam Konvensi 1949.
Keempat Konvensi Jenewa menegaskan penghormatan yang harus diberikan kepada
setiap pribadi pada masa sengketa bersenjata. Keempat Konvensi tersebut adalah:
I Perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam
angkatan bersenjata di medan
pertempuran darat
II Perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata
di laut yang luka, sakit dan korban karam
III Perlakuan
tawanan perang
IV Perlindungan penduduk sipil di waktu perang
Protokol Tambahan 1977
Protokol
Tambahan merupakan tanggapan atas efek
kemanusiaan dalam perang kemerdekaan nasional, yang hanya diatur sebagian di
dalam Konvensi 1949. Dua protokol tambahan diadopsi, yang menguatkan
perlindungan terhadap korban sengketa internasional (protokol I) dan sengketa
non-internasional (protokol II). Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan
1977 terdiri hampir 600 pasal dan merupakan perangkat utama hukum
perikemanusiaan internasional. Hanya sebuah negara yang dapat menjadi
peserta perjanjian internasional, begitu pula untuk menjadi peserta Konvensi
Jenewa dan Protokol Tambahannya. Di tahun 2002 hampir semua negara di dunia – 190 tepatnya –
menjadi peserta Konvensi Jenewa. Fakta bahwa perjanjian ini merupakan salah
satu yang diterima di sejumlah besar negara membuktikan kesemestaannya.
Sedangkan mengenai Protokol Tambahannya, 157 negara menjadi peserta Protokol I
dan 150 peserta Protokol II.
HPI dan HAM
Hukum perikemanusiaan internasional dan hukum hak asasi manusia
internasional (selanjutnya disebut hukum HAM) saling melengkapi. Keduanya
bermaksud untuk melindungi individu, walaupun dilaksanakan dalam situasi dan
cara yang berbeda. HPI berlaku dalam situasi sengketa bersenjata, sedangkan
hukum HAM atau setidaknya sebagian daripadanya, melindungi individu di
setiap saat, dalam masa perang maupun damai. Tujuan dari HPI adalah
melindungi korban dengan berusaha membatasi penderitaan yang diakibatkan oleh
perang, hukum HAM bertujuan untuk melindungi individu dan menjamin
perkembangannya.
Kepedulian utama HPI adalah mengenai perlakuan terhadap individu yang jatuh
ke tangan pihak lawan dan mengenai metode peperangan, sedangkan hukum HAM pada
intinya mencegah perlakuan semena-mena dengan membatasi kekuasaan negara
atas individu. Hukum HAM tidak bertujuan
untuk mengatur bagaimana suatu operasi militer dilaksanakan. Untuk memastikan
penghormatannya, HPI membentuk suatu mekanisme yang mengadakan sebuah
bentuk pengawasan terus-menerus atas pelaksanaannya; mekanisme itu memberi
penekanan pada kerjasama antara para pihak yang bersengketa dengan penengah
yang netral, dengan tujuan untuk mencegah pelanggaran. Sebagai konsekwensinya,
pendekatan ICRC yang perannya menjamin penghormatan terhadap HPI memberikan
prioritas pada persuasi.
Mekanisme untuk memonitor hukum HAM sangat bevariasi. Dalam banyak
kasus, lembaga yang berwenang dituntut untuk menentukan apakan sebuah negara
telah menghormati hukum. Contohnya, Mahkamah HAM Eropa, setelah penyelesaian pendahuluan
oleh seseorang, dapat menyatakan bahwa Konvensi HAM Eropa telah dilanggar oleh
penguasa negara. Penguasa ini selanjutnya wajib untuk mengambil langkah yang
perlu untuk memastikan bahwa situasi internal itu sesuai dengan persyaratan
yang diminta oleh Konvensi. Mekanisme pelaksanaan HAM pada intinya bermaksud
untuk meluruskan segala kerusakan yang terjadi.
Referensi
17.
Direktorat Jenderal Hukum
Perundang-undangan Departemen Kehakiman, 1999, Terjemahan Konvensi Jenewa tahun 1949, Departemen Hukum dan
Perundang-undangan, Jakarta.
18.
International
Committee of the Red Cross, 1994, Handbook
of the International Red Cross and Red Crescent Movement, ICRC &
Federation, Geneva.
19.
International
Committee of the Red Cross,1999, Pengantar
Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta.
20.
International Committee of
the Red Cross, 2002, International
Humanitarian Law, Answer to Your Question, ICRC, Geneva.
21.
ICRC, Film
‘Fighting by the Rules’ , ICRC, Geneva.
Code
of Conduct
& Safer Access
A. Code of Conduct
Code of conduct atau kode
perilaku adalah Etika dan Aturan Main Antara Badan Kemanusiaan Internasional
dalam Kegiatan Bantuan Kemanusiaan. Merupakan
rumusan dari hasil Kesepakatan antara
7(tujuh) Badan Kemanusiaan Internasional yaitu : ICRC, IFRC, Caritas International,
International Save the Children, Lutheran World Federation, Oxfam dan World
Council of Churches. Kesepakatan tersebut berupa ketentuan dasar yang mengatur
standardisasi Perilaku Badan Kemanusiaan Internasional serta Pekerja
Kemanusiaan untuk menjamin Independensi dan Efektifitas dalam penyelenggaraan
kegiatan kemanusiaan
Agar
penerapan menyeluruh dapat diterapkan, maka Code of Conduct ini diadopsi oleh
Federasi melalui General Assembly and The Council of Delegates (Birmingham,
1993) dan International Conference (Geneva, 1995);
Code of conduct terdiri dari 10(sepuluh) Prinsip Dasar
berkenaan dengan Humanitarian Relief Operation serta 3(tiga) Annex yang
mengatur hubungan antara Badan/Organisasi Kemanusiaan dengan Pemerintah
Setempat, Negara Donor dan Organisasi Antar Negara khususnya pada saat bencana.
Karena prinsipnya yang mengikat dan harus diterapkan secara nyata oleh personel
lembaga yang bersangkutan, maka bagi Federasi, tugas seorang anggota Delegasi Federasi jika ditempatkan di suatu
negara, maka ia harus mensosialisasikan Code of Conduct ini kepada Perhimpunan
Nasional dimana ia ditugaskan.
Adapun kesepuluh kode
perilaku tersebut adalah :
1.
Kewajiban kemanusiaan adalah
prioritas utama.
-
Pengakuan atas Hak Korban
Bencana/Konflik yaitu – Hak Untuk Memperoleh Bantuan Kemanusiaan
– dimanapun ia berada
-
Komitment untuk menyediakan
Bantuan Kemanusiaan kepada korban bencana/konflik, diamanapun atau kapanpun ia
diperlukan
-
Akses terhadap lokasi
bencana/konflik dan terhadap korban tidak dihalang-halangi
-
Dalam memberikan bantuan
kemanusiaan tidak menjadi bagian dari suatu kegiatan politik atau partisan
2. Bantuan diberikan tanpa pertimbangan ras, kepercayaan
ataupun kebangsaan dari penerima bantuan atau pun perbedaan dalam bentuk apa pun.
-
Bantuan
kemanusiaan diperhitungkan berdasarkan kebutuhan semata
-
Proportional
-
Mengakui peranan penting
Kaum Wanita dan menjamin bahwa peranan tersebut harus didukung dan
didayagunakan
-
Terjaminnya akses
terhadap sumber-sumber daya yang diperlukan serta akses yang seimbang terhadap
korban bencana/konflik
3. Bantuan tidak boleh digunakan
untuk kepentingan politik dan agama.
-
Tidak
mengikuti suatu pendirian politik atau keagamaan tertentu
-
Bantuan
diberikan kepada Individu, Keluarga dan Kelompok Masyarakat yang memerlukan
bantuan – tidak tergantung/memandang pada predikat apa yang melekat pada
penerima bantuan
4. Tidak menjadi alat kebijakan
pemerintah luar negeri.
-
Badan
Kemanusiaan Internasional harus dapat menjamin Independensinya terhadap Negara
Donor yang mempercayakan penyaluran bantuannya;
-
Badan
Kemanusiaan Internasional harus dapat mengupayakan lebih dari satu sumber
bantuan
5. Menghormati kebiasaan dan adat
istiadat.
-
Tidak
bertentangan dengan adat istiadat setempat
6. Membangun respon bencana sesuai
kemampuan setempat.
-
Memanfaatkan
keberadaan LSM serta tenaga lokal yang tersedia dalam implementasi kegiatan
-
Pengadaan
komoditas bantuan serta Jasa dari sumber-sumber setempat;
-
Mengutamakan koordinasi
7. Melibatkan penerima bantuan
dalam proses manajemen bencana.
-
Mengupayakan
partisipasi masyarakat hingga pemanfaatan sumber-sumber daya masyarakat yang
tersedia;
8. Bantuan yang diberikan
hendaknya untuk mengurangi kerentanan terhadap bencana di kemudian hari.
-
Bantuan
kemanusiaan diberikan, tidak semata-mata memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga
diupayakan agar dapat mengurangi tingkat
kerentanan masyarakat (korban bencana/konflik) di masa depan
-
Memperhatikan
kepentingan lingkungan dalam merekayasa dan implementasi program-program
-
Menghindari
sikap ketergantungan yang berkepanjangan terhadap bantuan-bantuan eksternal
9. Bertanggung-jawab kepada pihak
yang kita bantu dan yang memberi kita bantuan.
-
Bantuan
kemanusiaan harus dapat dipertanggungjawabkan, baik kepada mereka yang berhak
menerimanya dan kepada pihak Donor
-
Bantuan
kemanusiaan harus dikelola secara terbuka/transparansi, baik dari perspective
Finansial maupun Efektifitas kegiatan
-
Mengakui
kewajiban Pelaporan dan memastikan upaya monitoring telah dilakukan sebagaimana
mestinya
10. Dalam kegiatan informasi,
publikasi dan promosi, harus memandang korban sebagai manusia yang bermartabat.
-
Mengakui
martabat daripada korban bencana/konflik
-
Dalam
publikasi, tidak hanya menonjolkan tingkat penderitaan korban bencana, tetapi
juga perlu menonjolkan upaya/kapasitas masyarakat dalam mengatasi penderitaan
mereka
-
Kerjasama
dengan Media dalam rangka meningkatkan perhatian dan kontribusi masyarakat –
tidak didasarkan pada adanya tekanan, vested interest atau publisitas baik dari
lingkungan internal maupun eksternal
-
Dalam
media coverage – diupayakan tidak menimbulkan kesan persaingan dengan Badan
Kemanusiaan lainnya
-
Tidak
merusak situasi/atmosphere ditempat dimana Badan Kemanusiaan itu bekerja,
demikian pula keamanan dari para Pekerjanya
B.
Safer Access
Pada saat konflik terjadi, kerawanan menjadi
korban bagi mereka yang memberi bantuan adalah sebuah hal yang sulit
dihindarkan. Setiap saat pemberi bantuan dapat turut menjadi korban pertikaian.
Misalnya, disandera atau ditawan, terkena peluru, senjata tajam hingga mortir
secara tidak disengaja dan terbunuh. Terkenanya pemberi bantuan menjadi korban,
tentu akan berpengaruh bagi kelancaran sampainya bantuan bagi yang membutuhkan.
Untuk itu, pada saat konflik atau perang terjadi, pemberi bantuan harus
memperhatikan betul bagaimana ia bisa selamat dan terhindar dari akibat yang
membuatnya dapat turut menjadi korban. Bagaimana memperoleh keamanan dan
bagaimana tindakan aman yang harus dilakukan oleh pemberi bantuan di situasi
konflik inilah yang disebut dengan safer
access. Intinya dapat disimpulkan bahwa safer access adalah Kerangka kerja
yang disusun agar pemberi bantuan dapat memiliki AKSES YANG LEBIH
BAIK terhadap populasi yang terkena dampak konflik dan dapat BEKERJA
LEBIH AMAN dalam situasi konflik. Kerangka kerja tersebut terdiri
dari pedoman bagi organisasi dan individu agar lebih aman bekerja dalam situasi
konflik.
Ada tiga hal yang menjadi kerangka kerja
tersebut yaitu :
1.
Keamanan pemberi
bantuan (mis, PMI) dalam konflik
Secara umum, langkah-langkah keamanan disusun
untuk: mencegah insiden, mengurangi resiko dan membatasi kerusakan. Artinya,
kalaupun insiden tidak dapat dihindarkan (misalnya dtangkap oleh salah satu
kelompok yang bertikai), paling tidak, kita harus berupaya agar dalam insiden
tersebut dapat berlaku tepat agar
resiko lebih jauh dapat terhindar. Termasuk tentunya, membatasi kerusakan lebih
jauh terhadap kendaran atau bangunan (terutama yang digunakan dalam operasi
kemanusiaan) yang ada.
Kunci dari bagaimana dapat berlaku tepat,
tentu sebelumnya harus mengerti dan memahami bagaimana situasi konflik yang
terjadi. Pemberi bantuan harus mengetahui peta
konflik dan peta situasi atau
lokasi yang ada. Misalnya, mengetahui siapa yang berkonflik, dimana
lokasi-lokasi yang menjadi basis pertahanan dan daerah konflik terbuka terjadi,
dimana lokasi pengungsi, mengetahui jalur atau akses jalur wilayah yang aman
dan sebagainya.
2.
Dasar Hukum dan
Kebijakan Gerakan
Andaikan yang memberi bantuan pada saat
konflik adalah PMI, maka anggota PMI selain harus mengetahui tipe-tipe konflik
maka harus mengetahui juga, apa dasar
hukum yang dipakai oleh PMI untuk bertindak dalam situasi konflik. Selain
itu, pemahaman akan hak, kewajiban dan
keterbatasan PMI di saat konflik dan aturan lain yang terkait dengan posisi
sebagai anggota PMI dalam situasi konflik juga menjadi sebuah hal yang harus
diketahui. Selain itu, tentunya relevansi penerapan dasar hukum internasional
dan internasional bagi pemberian bantuan merupakan pengetahuan dasar yang
melekat.
Dasar Hukum Internasional meliputi :
A. Konvensi Jenewa (1949)
I. Melindungi
anggota angkatan bersenjata yang luka dan yang sakit dalam pertempuran di darat
II. Melindungi
anggota angkatan bersenjata yang luka, sakit dan mengalami kapal karam dalam
pertempuran di laut
III. Melindungi
para tawanan perang
IV. Melindungi
penduduk sipil
B. Protokol Tambahan (1977)
I.
Protokol I :
Memperkuat perlindungan kepada para korban
konflik bersenjata internasional
II.
Protokol II:
Memperkuat perlindungan kepada para korban
konflik bersenjata non-internasional
III.
Protokol III (2005)
Pengesahan dan pengakuan Lambang Kristal Merah sebagai
Lambang keempat dalam Gerakan
Dasar Hukum Nasional meliputi :
I.
UU No 59 tahun
1958 – keikutsertaan negara RI dalam Konvensi-Konvensi Jenewa tanggal 12
Agustus 1949
II.
Keppres RI no 25 tahun 1950 – pengesahan dan pengakuan
Perhimpunan Nasional Palang Merah Indonesia
III.
Keppres RI no 246 tahun 1963 – tugas pokok dan kegiatan
PMI
IV.
AD/ART
Palang Merah Indonesia
V.
Garis-Garis Kebijakan Palang Merah Indonesia
VI.
Protap Tanggap Darurat Bencana PMI
3.
Tujuh Pilar
Adalah “Pedoman/ acuan yang efektif untuk
menciptakan kesadaran personal pemberi bantuan pada semua tingkat tentang
berbagai hal penting yang harus dipertimbangkan pada saat akan memberikan
perlindungan maupun bantuan bagi para korban konflik”. Ketujuh pilar itu
meliputi :
a.
Penerimaan
terhadap Organisasi
Organisasi bantuan kita harus ‘diterima’ oleh lingkungan
dimana operasi kemanusiaan dilakukan.
b.
Penerimaan
terhadap Individu dan Tingkah Laku Pribadi
Tingkah laku pribadi dapat berpengaruh kepada penerimaan
terhadap individu dan berpengaruh pula pada penerimaan terhadap organisasi.
c.
Identifikasi
Tanda pengenal bahwa kita menjadi anggota organisasi
harus selalu melekat.
d.
Komunikasi
Internal
Informasi internal hendaknya mengalir cepat, tepat dan
akurat. Cepatnya informasi dapat mengantisipasi
kejadian yang tidak diinginkan. Untuk itu penting adanya membuat perencanaan.
e.
Komunikasi
Eksternal
Komunikasi
atau informasi dengan pihak luar Gerakan secara terbuka tanpa
batas dapat membahayakan keamanan
kita, sebab dapat disalahgunakan untuk
propaganda atau dapat menimbulkan citra bahwa Gerakan adalah organisasi yang memihak. Untuk itu, individu pemberi bantuan tidak boleh
memberitahukan atau menyampaikan apapun selain hanya ‘apa yang dilakukan’ dan
bukan ‘apa yang dirasakan, dilihat, didengar’ dan sebagainya.
f.
Peraturan
Keamanan
Peraturan harus ditandatangani oleh setiap anggota,
Mempunyai suatu sistim untuk memastikan terlaksananya peraturan tersebut
dan Peraturan itu haruslah selalu diperbaharui sesuai dengan
perkembangan situasi.
g.
Tindakan Perlindungan
Memilih tindakan perlindungan aktif atau pasif
atau kombinasi keduanya dan adanya jaminan asuransi.
Referensi
22.
ICRC database (3.2.5.1 Conflict environment)
23.
ICRC, Film “Mobile 121
Calling”, ICRC, Geneva
24.
PMI
Statutes
25.
Roberts,
David Lloyd, 1999, Staying Alive,
ICRC, Geneva
[1] Pada saat itu, beberapa negara dimulai dari kerajaan
Ottonam (Turki), sudah menggunakan Lambang Bulan Sabit Merah sebagai Lambang
perhimpunan nasionalnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar